Ilustrasi - Image from jateng.tribunnews.com
Sering terjadi di masyarakat
Tidak sama dengan hal yang sering terjadi lantas dianggap sebuah kebenaran dan hal yang wajar ya. Jangan sampai kebablasan, ketahuilah hukumnya dalam Islam.
Syariat Islam mengatur secara prinsip seluruh sendi-sendi kehidupan umatnya. Bahkan terkait hubungan antara lelaki dan perempuan. Hal itu semata demi kebaikan manusia dan juga kemaslahatan masyarakat.
Dalam Islam sebenarnya sudah ada larangan bagi umatnya untuk mendekati zina. Mendekati saja tak boleh apalagi melakukannya.
Namun saat ini, masyarakat terkesan abai dengan larangan tersebut. Kita sering menjumpai laki-laki dan perempuan yang lengket seperti amplop dan perangko di segala penjuru kota padahal belum terikat hubungan pernikahan.
Yap pacaran sudah menjadi hal yang lumrah di masyarakat. Bahkan saat ini sering kita jumpai pasangan yang menikah karena hamil duluan. Tak perlu jauh-jauh, lihat di sekeliling area rumahmu.
Adakah salah satu tetangga yang menikah saat perutnya terlihat besar, atau tidak jauh dari hari pernikahannya tiba-tiba melahirkan?
Lantas, bagaimana Islam memandang pernikahan karena telah hamil duluan? Diperbolehkan atau justru diharamkan?
Orang tua yang menghadapi putrinya yang hamil karena zina, biasanya akan memilih tindakan segera menikahkan putrinya.
Hal ini dilakukan demi menutupi aib keluarga mereka. Jangan sampai jadi omongan tetangga. Selain perintah Allah, menutupi aib juga dalam rangka agar tidak malu dan dihina oleh masyarakat.
Mayoritas para ulama membolehkan wanita yang sedang hamil akibat zina menikah dengan laki-laki yang menghamilinya.
Namun pendapat ulama yang lebih kuat disyaratkan kepada kedua calon pengantin untuk bertobat dari dosa besar (zina) yang dilakukannya.
Hal ini sejalan dengan pendapat dari mazhab Imam Ahmad, Qatadah, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid.
Berbeda halnya dengan ulama lain, seperti Imam Malik, Syafi’i, dan Abu Hanifah, tetap mengesahkan pernikahan tersebut walau kedua calon pengantin belum bertobat.
Imam Ahmad berpijak pada ayat, "Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mukminin." (QS an-Nur [24]: 3).
Ayat ini menegaskan bahwa pernikahan wanita dan laki-laki yang berzina hukumnya haram sampai mereka bertaubat.
Pernikahan adalah mitsaqan ghalizha (ikatan kuat nan suci) hanya bisa mengikat orang-orang yang beriman. Sedangkan orang musyrik (non-Islam) atau pezina tidak berlaku ikatan suci bagi mereka.
Dalam beberapa riwayat, Rasulullah SAW melarang para sahabat menikah dengan wanita pezina.
Seperti halnya dalam hadist ‘Amr bin Syu'aib, ia mengisahkan salah seorang sahabat bernama ‘Anaq ingin menikahi tawanan perempuan pezina. Rasulullah SAW diam, sampai surah an-Nur ayat 3 tersebut turun.
Rasulullah SAW pun melarang ‘Anaq untuk menikahi wanita itu. (HR Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Hakim).
Namun, jika sudah bertobat dengan sungguh-sungguh dari dosanya sebagai pezina, barulah ia bisa menikah atau dinikahkan.
Taubat nasuha yang dimaksud harus memenuhi lima syarat berikut ini, yaitu tobat yang ikhlas karena Allah, menyesali perbuatan, meninggalkan dosa tersebut, berazam (bertekad) sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya, dan memperbanyak amal ibadah sebagai ganti dari maksiat yang telah dilakukannya.
Setelah tobat, barulah wanita yang hamil karena zina ini bisa dinikahkan dengan laki-laki yang telah menghamilinya.
Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) Pasal 2 Ayat (1). Dalam Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga disebutkan, seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anak yang dikandung. Dengan adanya perkawinan saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Meski pernikahan pada wanita hamil duluan karena zina diperbolehkan, tidak sama artinya membolehkan terjadinya zina lho.
Sebab Allah SWT dengan tegas menjelaskan betapa buruknya perbuatan zina sebagai berikut:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’: 32)
Selain itu Rasulullah SAW juga bersabda tentang buruknya zina, sebagai berikut:
Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, dosa apa yang paling besar di sisi Allah?” Beliau bersabda, “Engkau menjadikan bagi Allah tandingan, padahal Dia-lah yang menciptakanmu.”
Kemudian ia bertanya lagi, “Terus apa lagi?” Beliau bersabda, “Engkau membunuh anakmu yang dia makan bersamamu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Terus apa lagi?”
Beliau bersabda, “Kemudian engkau berzina dengan istri tetanggamu.” Kemudian akhirnya Allah turunkan surat Al Furqon ayat 68 di atas. Di sini menunjukkan betapa buruknya perbuatan zina, dan besarnya dosa melakukannya.
Dalam hadits lainnya, Rasulullah SAW bersabda,
“Jika seseorang itu berzina, maka iman itu keluar dari dirinya seakan-akan dirinya sedang diliputi oleh gumpalan awan (di atas kepalanya). Jika dia lepas dari zina, maka iman itu akan kembali padanya.”
Bahkan zina bisa menjauhkan kita dari keimanan. Oleh sebab itu jangan dekati zina apalagi melakukannya.
Bagi yang telah melakukannya segera bertaubat, sesungguhnya Allah SWT Maha Pengampun dan Penerima Taubat. Serta berjanjilah untuk tidak mengulang perbuatan keji itu kembali.